makalah peran dinas syariat islam

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.   Latar Belakang
          Secara etimologis, syariat islam terdiri dari dua kata, syariat artinya hukum agama dan islam  artinya agama yang diajarkan oleh nabi muhammad SAW, berpedoman pada kitab suci al-quran, yang diturunkan kedunia melalui wahyu Allah SWT.
Dapat disimpulkan bahwa Syariat islam adalah Ajaran islam yang berpedoman pada kitab suci al-qur’an. Jadi pengertian tersebut harus bersumber dan berdasarkan kitab suci al-qur’an, pandangan normative dari syariat islam harus bersumber dari nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang tercantum dalam al-qur’an. Al-qur’an lah yang menjadi pangkal tolak dari segala pemahaman tentang syari’at islam. Kerangka dasar ajaran islam adalah akidah,  syar’iyah dan  akhlak. Ketiganya bekerja sama untuk mencapai suatu tujuan yang bersumber pada tauhid, sebagai inti akhidah yang kemudian melahirkan syar’iyah, sebagai jalan berupa ibadah dan muamalah, serta akhlak sebagai tingkah laku baik kepada Allah SWT maupun kepada makhluk ciptaan-Nya yang lain.
1.2.  Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui dan memahami tentang peran dinas syariat islam dalam penguatan syariat islam !



BAB II
PEMBAHASAN
2.1.   Pengertian Syari’at Islam 
Secara etimologis, syariat islam terdiri dari dua kata, syariat artinya hukum agama dan islam  artinya agama yang diajarkan oleh nabi muhammad SAW, berpedoman pada kitab suci al-quran, yang diturunkan kedunia melalui wahyu Allah SWT.
Dapat disimpulkan bahwa Syariat islam adalah Ajaran islam yang berpedoman pada kitab suci al-qur’an. Jadi pengertian tersebut harus bersumber dan berdasarkan kitab suci al-qur’an, pandangan normative dari syariat islam harus bersumber dari nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang tercantum dalam al-qur’an. Al-qur’an lah yang menjadi pangkal tolak dari segala pemahaman tentang syari’at islam. Kerangka dasar ajaran islam adalahakidah, syar’iyah dan  akhlak. Ketiganya bekerja sama untuk mencapai suatu tujuan yang bersumber pada tauhid, sebagai inti akhidah yang kemudian melahirkan syar’iyah, sebagai jalan berupa ibadah dan muamalah, serta akhlak sebagai tingkah laku baik kepada Allah SWT maupun kepada makhluk ciptaan-Nya yang lain.
Menurut M. Daud  Ali, Syariat adalah jalan yang harus ditempuh, dalam arti teknis, syariat adalah seperangkat norma ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan manusia lain dalam kehidupan social, hubungan manusia dengan benda dan alam lingkungan hidupnya.
Akhlak adalah peringai atau tingkah laku yang berkenaan dengan sikap manusia, terbagi atas akhlak terhadap Allah SWT dan terhadap sesama makhluk. Akhlak terhadap sesama makhluk terbagi atas akhlak terhadap manusia, yakni diri sendiri, keluarga, dan masyarakat, serta akhlak terhadap makhluk bukan manusia yang ada di sekitar lingkungan hidup, yakni tumbuh-tumbuhan, hewan, bumi, air, serta udara.
Menurut M. Daud Ali, Syariat adalah jalan yang harus ditempuh. Dalam arti teknis, syariat adalah seperangkat norma ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan manusia lain dalam kehidupan sosial, hubungan manusia dengan benda dan alam lingkungan hidupnya. Syariat islam ini berlaku bagi hamba-Nya yang berakal, sehat, dan telah menginjak usia baligh atau dewasa. (dimana sudah mengerti/memahami segala masalah yang dihadapinya). Tanda baligh atau dewasa bagi anak laki-laki, yaitu apabila telah bermimpi bersetubuh dengan lawan jenisnya, sedangkan bagi anak wanita adalah jika sudah mengalami datang bulan (menstruasi).
Bagi orang yang mengaku Islam, keharusan mematuhi peraturan ini diterangkan dalam firman Allah SWT. "kemudian Kami jadikan engkau (Muhammad) mengikuti syariat (peraturan) dari agama itu, maka ikutilah syariat itu, dan janganlah engkau ikuti keinginan orang-orang yang tidak mengetahui." (QS. 45/211-Jatsiyah: 18).
2.2.   Syariat Islam Dan Qanun
Syari’at Islam adalah tuntunan ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan.Pelaksanaan Syari’at Islam diatur dalam Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh nomor 5 tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam(Dinas Syari’at Islam,2009: 257). Adapun aspek-aspek pelaksanaan Syari’at Islam adalah seperti terdapat dalam Perda Daerah Istimewa Aceh nomor 5 tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari’atIslam. Bab IV Pasal 5 ayat 2, yaitu: Aqidah, Ibadah, Muamalah, Akhlak, Pendidikan dandakwah Islamiyah/amar makruf anhi munkar, Baitulmal, kemasyarakatan, Syiar Islam, Pembelaan Islam, Qadha, Jinayat, Munakahat, dan Mawaris.
Dasar hukum dan pengakuan Pemerintah untuk pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh,didasarkan atas UU No. 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan UU No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pelaksanaan Syari’at Islamdi Aceh telah diatur dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Nanggroe Aceh Darussalam, pasal 31 disebutkan:
1.    Ketentuan pelaksanaan undang-undang ini yang menyangkut kewenanganPemerintah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
2.    Ketentuan Pelaksanaan undang-unang ini yang menyangkut kewenanganPemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam ditetapkan dengan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Peraturan pelaksanaan untuk penyelenggaraan otonomi khusus yang berkaitandengan kewenangan pemerintah pusat akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
2.3.  Tujuan Syari’at Islam
          Tujuan Allah SWT merumuskan hukum islam adalah untuk kemaslahatan umat manusia, baik didunia maupun di akhirat. Tujuan dimaksud hendak dicapai melalui taklif.
Taklif  itu baru dapat dilaksanakan bila memahami sumber hukum islam, kemudian tujuan itu tidak akan tercapai kecuali dengan keluarnya seseorang dari diperbudak oleh hawa nafsunya, menjadi hamba Allah dalam arti tunduk keada-Nya. Salah satu ayat al-quran yang menunjukkan pernyataan bahwa tujuan hukum islam adalah untuk kemaslahatan umat manusia yaitu surat al-anbiya ayat 107 yang berbunyi: ”dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”.
Untuk mewujudkan kemaslahatan ada lima hal pokok yang harus diwujudkan dan dipelihara, yaitu agama, nyawa, akal,keturunan, dan harta. Lima masalah pokok ini wajib dipelihara oleh setiap manusia. Untuk itu, didatangkan hukum islam berupa perintah, larangan, dan keijinan yang harus dipatuhi oleh setiap mukallaf.
Masing-masing lima pokok tersebut dalam mewujudkan dan memeliharanya dikategorikan kepada beberapa klasifikasi menurut tingkat prioritas kebutuhan, yaitu kebutuhan daruriyat, kebutuhan hajiyat, dan kebutuhan tahsiniat. Ketiganya harus terwujud dan terpelihara. Memelihara kebutuhan daruriyat dimaksudkan perwujudan dan perlindungan terhadap lima pokok yang telah diuraikan dalam batas jangan sampai terancam eksistensinya. Memelihara kebutuhan hajiyat dimaksudkan perwujudan dan perlindungan terhadap hal-hal yang diperlukan dalam kelestarian lima pokok tersebut, tetapi di bawah kadar batas kepentingan daruriyat. Tidak terpeliharanya kebutuhan ini, tidak akan membawa terancamnya eksistensi lima pokok tersebut, tetapi membawa kepada kesempitan dan kepicikan, baik dalam usaha mewujudkan maupun dalam pelaksanaannya; sedangkan kepicikan dan kesempitan itu di dalam ajaran Islam perlu disingkirkan. Berdasarkan uraian di atas, untuk mewujudkan dan melestarikan tiga kategori kebutuhan tersebut, Allah SWT menurunkan hukum-Nya. Melaksanakan taklif hukum-Nya itu, maka kebutuhan yang diperlukan oleh setiap manusia mukallaf akan terwujud dan terpelihara, yang merupakan kebahagiaan bagi umat manusia atau yang biasa disebut keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
2.4.   Peran dinas syariat islam dalam penguatan syariat islam
          Dalam penguatan syariat islam peran dinas di bantu oleh beberapa lembaga yaitu sebagai berikut  :
          A.  Lembaga-Lembaga Pelaksana Syari’at Islam
   1.    Dinas Syariat Islam
Dinas Syariat Islam ini merupakan merupakan perangkat daerah sebagai unsur pelaksana syari’at Islam di lingkungan Pemerintah DerahNanggroe Aceh Darussalam yang kedudukannya berada di bawah Gubernur.
Dinas ini dipimpin oleh seorang Kepala dinas yang berada dibawah danbertanggung-jawab kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah.
Dinas Syariat Islam mempunyai fungsi:
1.        Sebagai pelaksana tugas yang berhubungan dengan perencanaan,penyiapan kanun yang berhubungan dengan pelaksanaan syari’at Islam serta mendokumentasikan dan menyebarluaskan hasilhasilnya.
2.        Pelaksanaan tugas yang berhubungan dengan penyiapan dan pembinaan sumber daya manusia yang berhubungan denganpelaksanaan Syari’at Islam.
3.        Pelaksanaan tugas yang berhubungan dengan kelancaran dan ketertiban pelaksanaan peribadatan dan penataan sarananya sertapenyemarakan syi’ar Islam
4.        Pelaksanaan tugas yang berhubungan dengan bimbingan danpengawasan terhadap pelaksanaan Syariat Islam ditengah-tengahmasyarakat, dan
5.        Pelaksanaan tugas yang berhubungan bimbingan dan danpenyuluhan syari’at Islam.
Untuk melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud di atas Dinas Syariat Islam mempunyai kewenangan:

1.        Merencanakan program penelitian dan pengembangan unsur-unsur syari’at Islam.
2.        Melestarikan nilai-nilai Islam.
3.        Mengembangkan dan membimbing pelaksanaan syari’at Islam yang meliputi bidang-bidang aqidah, ibadah, mu’amalah, akhlak,pendidikan dan dakwah Islamiyah, amar ma’ruf nahi munkar, baitulmal, kemasyarakatan, syari’at Islam, pembelaan islam, qadha,jinayat, munakahat dan mawaris.
4.        Mengawasi terhadap pelaksanaan syari’at Islam.
5.        Membina dan mengawasi terhadap Lembaga PengembanganTilawatil Qur’an  (LPTQ).
2.   Wilayatul Hisbah  
Qanun tentang penyelenggaraan syaria’at Islam di bidang aqidah, ibadah dan       syi’arIslam mengamanatkan pembentukan Wilayatul Hisbah (WH), sebagai badan yang melakukan pengawasan, pemberi ingat dan pencegahan atas pelanggaran syari’atIslam.
Mengenai struktur, kewenangan ataupun mekanisme kerja badan ini akan ditetapkan dengan peraturan lain yang diatur dalam qanun.
Dalam Fiqh WH merupakan satu badan pengawasan yang bertugas melakukan amar Ma’rufnahi munkar, mengingatkan masyarakat mengenai aturan-aturan syari’at, langkah yang harus mereka ambil untuk menjalankan syari’at serta batas dimana orang-orang harus berhenti. Sebab kalau mereka terus berbuat mereka akan dianggap melanggar ketentuan syari’at. Dalam keadaan terpaksa atau sangat mendesak, WH diberi izin melakukan tindakan untuk menghentikan pelanggaran serta melakukan tindakan yang dapat menghentikan upaya pelanggaran atausebaliknya mengarahkan orang-orang agar melakukan ajaran dan perintah syari’at.
3.    Lembaga Kepolisian
Lembaga Kepolisian di sini adalah lembaga kepolisian yang terdapat di Nanggroe Aceh Darussalam.
Lembaga Kepolisian mempunyai peran pada proses peradilan dalam rangka melaksanakan syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam.
Lembaga Kepolisian yang ada di Nanggroe Aceh Darussalam haruslah mengerti dan memahami karakter kebiasaan dan budaya yang tumbuh dan berkembang di Nanggroe Aceh Darussalam.
Dalam Pasal 207 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2006 Tentang  Pemerintahan  Acehmenyebutkan bahwa seleksi untuk menjadi bintara dan perwira Kepolisian Negara Republik Indonesia di Aceh dilaksanakan oleh Kepolisian Aceh dengan memperhatikan ketentuan hukum, syari’at Islam dan budaya, serta adat istiadat dan kebijakan Gubernur Aceh. Dan ayat (4) penempatan bintara dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dari luar Aceh ke Kepolisian Aceh dilaksanakan ataskeputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan memperhatikan ketentuan hukum,  syari’at Islam, budaya dan adat istiadat.
Kepolisian bertugas untuk melakukan penyidikan dalam hal terjadinya tindakan pelanggaran terhadap qanun-qanun yang ada di Nanggroe Aceh Darussalam, yang dalam hal ini di perbantukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang berwenang untuk itu.
Dalam Pasal 1 ayat
1)      Keputusan Bersama Gubernur, Kepala Kepolisian daerah, Kepala Kejaksaan Tinggi,  Ketua Mahkamah Syari’ah Provinsi,  Ketua Pengadilan Tinggi dan Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakimandan Hak Asasi Manusia Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, menyatakan bahwa Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam mendidik, membina dan mengkoordinasikan operasional PPNS Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan menerima hasil penyidikan perkara pelanggaran qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, danmenerima hasil penyidikan dari PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) yang selanjutnya menyerahkan berkas perkara kepada kejaksaan atau Mahkamah Syari’ah.
2)      Kepolisian Nanggroe Aceh Darussalam membantu melakukan penyidikkan terhadap perkarapelanggaran qanun-qanun di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
4.       Lembaga Kejaksaan
Lembaga Kejaksaan merupakan Lembaga Kejaksaan yangberada di bawah naungan Kejaksaan Agung Republik Indonesia, yangberada di Nanggroe Aceh Darussalam. Kejaksaan bertugasmelaksanakan tugas dan kebijakan teknis di bidang penegakan hukumtemasuk pelaksanaan syari’at Islam.Wewenang jaksa di Nanggroe Aceh Darussalam sama halnyadengan wewenang jaksa yang diatur dalam Undang-undang, yaitumelakukan penuntutan terhadap perkara pidana terhadap pelanggaryang melanggar ketentuan pidana yang diatur dalam qanun danmelakukan eksekusi terhadap keputusan hakim setelah mempunyaikekuatan hukum tetap.
5.       Mahkamah Syari’ah
Undang-undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Nanggroe Aceh Darussalam merupakan kelanjutan serta kesempurnaan terhadap yang telah diatur oleh Undang-undang No. 44 tahun 1999, dalam konsideranhuruf  (c) disebutkan  : ”bahwa pelaksanaan UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh perlu diselaraskan dalam penyelenggaraan pemerintahan di provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagaiprovinsi Nanggroe Aceh Darussalam”.
Dalam Pasal 25 UU No. 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Nanggroe Aceh Darussalam juga disebutkan:
1)      Peradilan Syari’at Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalamsebagai bagian dari sistem peradilan nasional dilakukan olehMahkamah Syari’ah yang bebas dari pengaruh pihak manapun.
2)      Kewenangan Mahkamah Syari’ah sebagaimana yang dimaksuddalam ayat (1) didasarkan atas syari’at Islam dalam sistem hukum nasional yang diatur lebih lanjut dengan qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
3)      Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberlakukan bagi pemeluk agama Islam.
Pada Pasal terserbut jelas ada tambahan pada ”keistimewaan” Aceh.
Yakni,  adanya lembaga peradilan khusus untuk melaksanakan syari’at Islam yaitu Mahkamah Syari’ah sebagai lembaga peradilan tingkat I dan Mahkamah Syari’ah Provinsi sebagai lembaga peradilan tingkat banding.
Lembaga (Mahkamah) inilah yang berwenang melaksanakan syari’at Islam untuk umat Islam di Aceh baik tingkat I maupun tingkat banding.
Sedang untuk kasasi tetap dilakukan oleh Mahkkamah Agung.  Demikian juga tentang sengketa kewenangan UU No. 18 Pasal 26 ayat (2) yang berbunyi “Mahkamah Syari’ah untuk tingkat kasasi dilakukan pada Mahkamah Agung RI”mengadili antara Mahkamah Syari’ah dengan lembaga peradilan lain. Mengenai kewenangan Mahkamah Syari’ah, UU No. 18 Tahun 2001 menyerahkan pada qanun provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Tentang Peradilan Syari’at Islam yang diatur dalam Qanun No. 10 Tahun 2002, dalam Pasal 49 menyebutkan bahwa perkara-perkara dibidang perdata yang meliputi hukum kekeluargaan, hukum perikatan dan hukum harta benda serta perkara-perkara dibidang pidana yang meliputi; Qishas-Diyat, Hudud dan Ta’zir sebagai kewenangan Mahkamah Syari’ah.
Sebagai implementasian Undang-undang di atas, mengenai tugas dan wewenang Mahkamah Syari’ah diatur dalam qanun tersendiri yakni Qanun No. 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syari’at Islam.
Dalam Pasal 2 ayat (1) :
disebutkan bahwa Mahkamah Syari’ahadalah lembaga peradilan yang dibentuk dengan qanun ini sertamelaksanakan syari’at Islam dalam wilayah Propinsi Nanggroe AcehDarussalam,
dalam ayat (2)
pelaksanaan kewenangan MahkamahSyariah bebas dari pengaruh pihak manapun,
sedangkan ayat (3)
dijelaskan bahwa Mahkamah Syari’ah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pengembangan dari Pengadilan Agama yang telah ada.

Pasal 27 UU No. 18 Tahun 2001 Berbunyi “sengketa-sengketa antara Mahkamah Syari’ah dan pengadilan dalam lingkungan peradilan lain, menjadi wewenang Mahkamah Agung RI untuk tingkat pertama dan tingkat akhir”.
Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama yang telah ada diatur dengan UU No. 7 Tahun 1989, yang juga berwenang menangani perkara-perkara tertntu sesuai dengan hukum syari’at Islam, harus dikembangkan, diselaraskan,dan disesuaikan dengan maksud UUNo. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi DaerahIstimewa Aceh Sebagai Nanggroe Aceh Darussalam, agar tidak terjadi dualisme dalam pelaksanaan Peradilan Syari’at Islam yang dapatmenimbulkan kerawanan sosial dan ketidakpastian hukum. Maka lembaga Peradilan Agama beserta perangkatnya (sarana danprasarananya) yang telah ada di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalamdialihkan menjadi lembaga Peradilan Syari’at Islam.
a.    Mahkamah Syari’ah ini terdiri dari
1)         Mahkamah Syari’ah sebagai pengadilan tingkat pertama yangberkedudukan di masing-masing kabupaten/kota;
2)         Mahkamah Syariah Propinsi sebagai pengadilan tingkat banding yang berkedudukan di Ibukota Propinsi.



BAB III
PENUTUP
3.1.    Kesimpulan
          Tujuan dari pelaksanaan syariat islam di aceh adalah supaya dapat terciptanya suatu masyarakat yang kritis dan menghargai ilmu pengetahuan, khususnya studi islam. proses tersebut dilaksanakan dengan cara:Mengaktifkan kembali pusat-pusat pendidikan islam, Menciptakan kader-kader ulama, ulama atau  orang-orang yang mempunyai pengetahuan atau wawasan dalam bidang agama,Membangun pusat studi islam di Aceh, Memilih dan memilah hukum islam yang diatur oleh negara dan yang tidak diatur oleh negara. Dan Menggalakkan ijtihat kolektif (ijtihat jama’iy).
          Target yang ingin dicapai dalam pelaksanaan syariat islam di Aceh serta sebagai solusi jangka panjang penerapan syariat islam secara kaffah di Aceh, antara lain: Proses penerimaan otoritas syariat secara kaffah, Proses pembinaan aparat dan umat memadai, Proses pertarungan politik secara sehat, Proses pergolakan pemikiran cukup terkontrol.
3.2.    Saran
          Sekirannya kesulitan-kesulitan di atas tidak ditangani secara respresif, kuat dugaan akan menimbulkan keraguan, sikap pragmatis dan sinisme dikalangan tertentu, kesulitan yang tidak akan habis-habisnya di tengah masyarakat dan bahkan mungkin penentangan yang keras dari kalangan pengamat yang kritis, baik yang pro maupun yang kontra dengan Syari’at Islam. Para ulama dan pemimpin baik yang formal maupun informal harus dapat membuktikan dan meyakinkan semua pihak bahwa pelaksanaan Syari’at Islam adalah rahmat untuk semua pihak. Dengan kata lain, pelaksanaan Syari’at Islam harus menjadikan masyarakat lebih sejahtera  berkeadilan dan berkualitas.



DAFTAR PUSTAKA

Alyasa Abubakar. 2008. Penerapan Syariat Islam Di Aceh Upaya Penyusunan Fiqih Dalam Negara Bangsa. Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Daud Rasyid, 2001, Formalisasi Syari’at di Serambi Mekkah, dalam buku Syari’at Islam Yes, Syari’at Islam No. Jakarta: Paramadina.
Eka Sri Mulyani. 2008. Filosofi Pendidikan Berbasis Syariat Dalam Educational Network. Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Hasanuddin Yusuf A, 2003, Sejarah dan Perkembangan Islam di Aceh, Jurnal Ar-Raniry, Edisi Nomor 82 Tahun.
H.M.Syadli ZA, Pendidikan Islam di Kesultanan Aceh: Ulama, Meunasah dan Rangkang, Jurnal al Qalam, Vol 20 No. 96 Tahun 2003.
Soerjono Soekanto, 2003, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Syamsul Rizal, Dkk. 2008. Syariat Islam Dan Paradigma KemanusiaanDinas Syariat Islam Profinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Yusni Saby, Pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh: Suatu Peluang dan Tantangan”, Jurnal Qanun, 2002, Universitas Syiah kuala Aceh.


No comments:

Post a Comment

Informasi Pendidikan

tesss