BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Secara etimologis,
syariat islam terdiri dari dua kata, syariat artinya hukum agama dan
islam artinya agama yang diajarkan oleh nabi muhammad SAW, berpedoman
pada kitab suci al-quran, yang diturunkan kedunia melalui wahyu Allah SWT.
Dapat disimpulkan bahwa Syariat islam adalah
Ajaran islam yang berpedoman pada kitab suci al-qur’an. Jadi pengertian tersebut harus bersumber
dan berdasarkan kitab suci al-qur’an, pandangan normative dari syariat islam
harus bersumber dari nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang tercantum dalam
al-qur’an. Al-qur’an lah yang menjadi pangkal tolak dari segala pemahaman
tentang syari’at islam. Kerangka dasar ajaran islam adalah akidah, syar’iyah dan akhlak. Ketiganya
bekerja sama untuk mencapai suatu tujuan yang bersumber pada tauhid, sebagai
inti akhidah yang kemudian melahirkan syar’iyah, sebagai
jalan berupa ibadah dan muamalah, serta akhlak sebagai tingkah laku baik kepada
Allah SWT maupun kepada makhluk ciptaan-Nya yang lain.
1.2.
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah
untuk mengetahui dan memahami tentang peran dinas syariat islam dalam penguatan
syariat islam !
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Syari’at Islam
Secara etimologis,
syariat islam terdiri dari dua kata, syariat artinya hukum agama dan
islam artinya agama yang diajarkan oleh nabi muhammad SAW, berpedoman
pada kitab suci al-quran, yang diturunkan kedunia melalui wahyu Allah SWT.
Dapat disimpulkan bahwa Syariat islam adalah
Ajaran islam yang berpedoman pada kitab suci al-qur’an. Jadi pengertian tersebut harus bersumber
dan berdasarkan kitab suci al-qur’an, pandangan normative dari syariat islam
harus bersumber dari nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang tercantum dalam
al-qur’an. Al-qur’an lah yang menjadi pangkal tolak dari segala pemahaman
tentang syari’at islam. Kerangka dasar ajaran islam adalahakidah,
syar’iyah dan akhlak. Ketiganya bekerja sama
untuk mencapai suatu tujuan yang bersumber pada tauhid, sebagai
inti akhidah yang kemudian melahirkan syar’iyah, sebagai
jalan berupa ibadah dan muamalah, serta akhlak sebagai tingkah laku baik kepada
Allah SWT maupun kepada makhluk ciptaan-Nya yang lain.
Menurut M. Daud Ali, Syariat adalah
jalan yang harus ditempuh, dalam arti teknis, syariat adalah seperangkat norma
ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan
manusia lain dalam kehidupan social, hubungan manusia dengan benda dan alam
lingkungan hidupnya.
Akhlak adalah
peringai atau tingkah laku yang berkenaan dengan sikap manusia, terbagi
atas akhlak terhadap Allah SWT dan terhadap sesama
makhluk. Akhlak terhadap sesama makhluk terbagi
atas akhlak terhadap manusia, yakni diri sendiri, keluarga, dan
masyarakat, serta akhlak terhadap makhluk bukan manusia yang ada di
sekitar lingkungan hidup, yakni tumbuh-tumbuhan, hewan, bumi, air, serta udara.
Menurut M. Daud Ali,
Syariat adalah jalan yang harus ditempuh. Dalam arti teknis, syariat adalah
seperangkat norma ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, hubungan
manusia dengan manusia lain dalam kehidupan sosial, hubungan manusia dengan
benda dan alam lingkungan hidupnya. Syariat islam ini berlaku bagi hamba-Nya yang berakal, sehat, dan
telah menginjak usia baligh atau dewasa. (dimana sudah mengerti/memahami segala
masalah yang dihadapinya). Tanda baligh atau dewasa bagi anak laki-laki, yaitu
apabila telah bermimpi bersetubuh dengan lawan jenisnya, sedangkan bagi anak
wanita adalah jika sudah mengalami datang bulan (menstruasi).
Bagi orang yang mengaku
Islam, keharusan mematuhi peraturan ini diterangkan dalam firman Allah SWT.
"kemudian Kami jadikan engkau (Muhammad) mengikuti syariat (peraturan)
dari agama itu, maka ikutilah syariat itu, dan janganlah engkau ikuti keinginan
orang-orang yang tidak mengetahui." (QS. 45/211-Jatsiyah: 18).
2.2. Syariat Islam Dan Qanun
Syari’at Islam adalah
tuntunan ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan.Pelaksanaan Syari’at Islam
diatur dalam Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh nomor 5 tahun
2000 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam(Dinas Syari’at Islam,2009: 257). Adapun
aspek-aspek pelaksanaan Syari’at Islam adalah seperti terdapat dalam Perda
Daerah Istimewa Aceh nomor 5 tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari’atIslam. Bab
IV Pasal 5 ayat 2, yaitu: Aqidah, Ibadah, Muamalah, Akhlak, Pendidikan
dandakwah Islamiyah/amar makruf anhi munkar, Baitulmal, kemasyarakatan, Syiar
Islam, Pembelaan Islam, Qadha, Jinayat, Munakahat, dan Mawaris.
Dasar hukum dan
pengakuan Pemerintah untuk pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh,didasarkan
atas UU No. 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi
Daerah Istimewa Aceh dan UU No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam. Pelaksanaan Syari’at Islamdi Aceh telah diatur dalam
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi
Daerah Istimewa Aceh sebagai Nanggroe Aceh Darussalam, pasal 31
disebutkan:
1.
Ketentuan pelaksanaan undang-undang ini yang
menyangkut kewenanganPemerintah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
2.
Ketentuan Pelaksanaan undang-unang ini yang
menyangkut kewenanganPemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam ditetapkan
dengan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Peraturan pelaksanaan
untuk penyelenggaraan otonomi khusus yang berkaitandengan kewenangan pemerintah
pusat akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
2.3. Tujuan Syari’at Islam
Tujuan
Allah SWT merumuskan hukum islam adalah untuk kemaslahatan umat manusia, baik
didunia maupun di akhirat. Tujuan dimaksud hendak dicapai melalui taklif.
Taklif itu baru dapat dilaksanakan bila memahami
sumber hukum islam, kemudian tujuan itu tidak akan tercapai kecuali dengan
keluarnya seseorang dari diperbudak oleh hawa nafsunya, menjadi hamba Allah
dalam arti tunduk keada-Nya. Salah satu ayat al-quran
yang menunjukkan pernyataan bahwa tujuan hukum islam adalah untuk kemaslahatan
umat manusia yaitu surat al-anbiya ayat 107 yang berbunyi: ”dan tiadalah kami
mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”.
Untuk mewujudkan kemaslahatan ada lima hal
pokok yang harus diwujudkan dan dipelihara, yaitu agama, nyawa, akal,keturunan,
dan harta. Lima masalah pokok ini wajib dipelihara oleh setiap manusia. Untuk
itu, didatangkan hukum islam berupa perintah, larangan, dan keijinan yang harus
dipatuhi oleh setiap mukallaf.
Masing-masing lima pokok
tersebut dalam mewujudkan dan memeliharanya dikategorikan kepada beberapa
klasifikasi menurut tingkat prioritas kebutuhan, yaitu
kebutuhan daruriyat, kebutuhan hajiyat, dan kebutuhan tahsiniat.
Ketiganya harus terwujud dan terpelihara. Memelihara
kebutuhan daruriyat dimaksudkan perwujudan dan perlindungan terhadap
lima pokok yang telah diuraikan dalam batas jangan sampai terancam
eksistensinya. Memelihara kebutuhan hajiyat dimaksudkan perwujudan
dan perlindungan terhadap hal-hal yang diperlukan dalam kelestarian lima pokok
tersebut, tetapi di bawah kadar batas kepentingan daruriyat. Tidak
terpeliharanya kebutuhan ini, tidak akan membawa terancamnya eksistensi lima
pokok tersebut, tetapi membawa kepada kesempitan dan kepicikan, baik dalam
usaha mewujudkan maupun dalam pelaksanaannya; sedangkan kepicikan dan
kesempitan itu di dalam ajaran Islam perlu disingkirkan. Berdasarkan uraian di
atas, untuk mewujudkan dan melestarikan tiga kategori kebutuhan tersebut, Allah
SWT menurunkan hukum-Nya. Melaksanakan taklif hukum-Nya itu, maka
kebutuhan yang diperlukan oleh setiap manusia mukallaf akan terwujud dan
terpelihara, yang merupakan kebahagiaan bagi umat manusia atau yang biasa
disebut keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
2.4.
Peran dinas syariat islam dalam
penguatan syariat islam
Dalam penguatan syariat islam peran dinas di bantu oleh
beberapa lembaga yaitu sebagai berikut :
A. Lembaga-Lembaga
Pelaksana Syari’at Islam
1. Dinas Syariat Islam
Dinas
Syariat Islam ini merupakan merupakan perangkat daerah sebagai unsur
pelaksana syari’at Islam di lingkungan Pemerintah DerahNanggroe Aceh Darussalam
yang kedudukannya berada di bawah Gubernur.
Dinas ini dipimpin oleh seorang Kepala dinas
yang berada dibawah danbertanggung-jawab kepada Gubernur melalui
Sekretaris Daerah.
Dinas Syariat Islam mempunyai fungsi:
1.
Sebagai
pelaksana tugas yang berhubungan dengan perencanaan,penyiapan kanun yang
berhubungan dengan pelaksanaan syari’at Islam serta mendokumentasikan dan
menyebarluaskan hasilhasilnya.
2.
Pelaksanaan
tugas yang berhubungan dengan penyiapan dan pembinaan sumber daya manusia
yang berhubungan denganpelaksanaan Syari’at Islam.
3.
Pelaksanaan
tugas yang berhubungan dengan kelancaran dan ketertiban pelaksanaan
peribadatan dan penataan sarananya sertapenyemarakan syi’ar Islam
4.
Pelaksanaan
tugas yang berhubungan dengan bimbingan danpengawasan terhadap pelaksanaan
Syariat Islam ditengah-tengahmasyarakat, dan
5.
Pelaksanaan
tugas yang berhubungan bimbingan dan danpenyuluhan syari’at Islam.
Untuk melaksanakan
fungsi sebagaimana dimaksud di atas Dinas Syariat Islam mempunyai
kewenangan:
1.
Merencanakan
program penelitian dan pengembangan unsur-unsur syari’at Islam.
2.
Melestarikan
nilai-nilai Islam.
3.
Mengembangkan
dan membimbing pelaksanaan syari’at Islam yang meliputi bidang-bidang
aqidah, ibadah, mu’amalah, akhlak,pendidikan dan dakwah Islamiyah, amar ma’ruf
nahi munkar, baitulmal, kemasyarakatan, syari’at Islam, pembelaan islam,
qadha,jinayat, munakahat dan mawaris.
4.
Mengawasi
terhadap pelaksanaan syari’at Islam.
5.
Membina
dan mengawasi terhadap Lembaga PengembanganTilawatil Qur’an (LPTQ).
2. Wilayatul
Hisbah
Qanun
tentang penyelenggaraan syaria’at Islam di bidang aqidah, ibadah dan syi’arIslam mengamanatkan
pembentukan Wilayatul Hisbah (WH), sebagai badan yang
melakukan pengawasan, pemberi ingat dan pencegahan atas pelanggaran
syari’atIslam.
Mengenai struktur, kewenangan ataupun
mekanisme kerja badan ini akan ditetapkan dengan peraturan lain yang
diatur dalam qanun.
Dalam Fiqh WH merupakan satu
badan pengawasan yang bertugas melakukan amar Ma’rufnahi munkar, mengingatkan
masyarakat mengenai aturan-aturan syari’at, langkah yang harus mereka
ambil untuk menjalankan syari’at serta batas dimana orang-orang harus berhenti.
Sebab kalau mereka terus berbuat mereka akan dianggap melanggar ketentuan
syari’at. Dalam keadaan terpaksa atau sangat mendesak, WH diberi izin
melakukan tindakan untuk menghentikan pelanggaran serta melakukan tindakan
yang dapat menghentikan upaya pelanggaran atausebaliknya mengarahkan
orang-orang agar melakukan ajaran dan perintah syari’at.
3. Lembaga
Kepolisian
Lembaga
Kepolisian di sini adalah lembaga kepolisian yang terdapat di Nanggroe
Aceh Darussalam.
Lembaga
Kepolisian mempunyai peran pada proses peradilan dalam rangka
melaksanakan syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam.
Lembaga
Kepolisian yang ada di Nanggroe Aceh Darussalam haruslah mengerti dan
memahami karakter kebiasaan dan budaya yang tumbuh dan berkembang di
Nanggroe Aceh Darussalam.
Dalam
Pasal 207 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2006
Tentang Pemerintahan Acehmenyebutkan bahwa seleksi untuk
menjadi bintara dan perwira Kepolisian Negara Republik Indonesia di Aceh
dilaksanakan oleh Kepolisian Aceh dengan memperhatikan ketentuan hukum,
syari’at Islam dan budaya, serta adat istiadat dan kebijakan Gubernur
Aceh. Dan ayat (4) penempatan bintara dan Kepolisian Negara
Republik Indonesia dari luar Aceh ke Kepolisian Aceh dilaksanakan ataskeputusan
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan memperhatikan ketentuan
hukum, syari’at Islam, budaya dan adat istiadat.
Kepolisian
bertugas untuk melakukan penyidikan dalam hal terjadinya tindakan
pelanggaran terhadap qanun-qanun yang ada di Nanggroe Aceh Darussalam,
yang dalam hal ini di perbantukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang
berwenang untuk itu.
Dalam
Pasal 1 ayat
1)
Keputusan
Bersama Gubernur, Kepala Kepolisian daerah, Kepala Kejaksaan
Tinggi, Ketua Mahkamah Syari’ah
Provinsi, Ketua Pengadilan Tinggi dan Kepala Kantor Wilayah
Departemen Kehakimandan Hak Asasi Manusia Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, menyatakan bahwa Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh
Darussalam mendidik, membina dan mengkoordinasikan operasional
PPNS Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan menerima hasil
penyidikan perkara pelanggaran qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,
danmenerima hasil penyidikan dari PPNS (Penyidik Pegawai Negeri
Sipil) yang selanjutnya menyerahkan berkas perkara kepada kejaksaan
atau Mahkamah Syari’ah.
2)
Kepolisian
Nanggroe Aceh Darussalam membantu melakukan penyidikkan terhadap
perkarapelanggaran qanun-qanun di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
4. Lembaga
Kejaksaan
Lembaga
Kejaksaan merupakan Lembaga Kejaksaan yangberada di bawah naungan Kejaksaan
Agung Republik Indonesia, yangberada di Nanggroe Aceh Darussalam. Kejaksaan
bertugasmelaksanakan tugas dan kebijakan teknis di bidang penegakan
hukumtemasuk pelaksanaan syari’at Islam.Wewenang jaksa di Nanggroe Aceh
Darussalam sama halnyadengan wewenang jaksa yang diatur dalam Undang-undang,
yaitumelakukan penuntutan terhadap perkara pidana terhadap pelanggaryang
melanggar ketentuan pidana yang diatur dalam qanun danmelakukan eksekusi
terhadap keputusan hakim setelah mempunyaikekuatan hukum tetap.
5. Mahkamah Syari’ah
Undang-undang
No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa
Aceh sebagai Nanggroe Aceh Darussalam merupakan kelanjutan serta
kesempurnaan terhadap yang telah diatur oleh Undang-undang No. 44 tahun
1999, dalam konsideranhuruf (c) disebutkan : ”bahwa
pelaksanaan UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan
Provinsi Daerah Istimewa Aceh perlu diselaraskan dalam
penyelenggaraan pemerintahan di provinsi Daerah Istimewa Aceh
Sebagaiprovinsi Nanggroe Aceh Darussalam”.
Dalam Pasal 25 UU No. 18 Tahun 2001 Tentang
Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Nanggroe
Aceh Darussalam juga disebutkan:
1)
Peradilan
Syari’at Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalamsebagai bagian dari sistem
peradilan nasional dilakukan olehMahkamah Syari’ah yang bebas dari pengaruh
pihak manapun.
2)
Kewenangan
Mahkamah Syari’ah sebagaimana yang dimaksuddalam ayat (1) didasarkan atas
syari’at Islam dalam sistem hukum nasional yang diatur lebih lanjut dengan
qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
3)
Kewenangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberlakukan bagi pemeluk agama Islam.
Pada Pasal terserbut jelas ada tambahan pada
”keistimewaan” Aceh.
Yakni, adanya lembaga peradilan
khusus untuk melaksanakan syari’at Islam yaitu Mahkamah
Syari’ah sebagai lembaga peradilan tingkat I dan Mahkamah Syari’ah
Provinsi sebagai lembaga peradilan tingkat banding.
Lembaga (Mahkamah) inilah yang
berwenang melaksanakan syari’at Islam untuk umat Islam di Aceh baik
tingkat I maupun tingkat banding.
Sedang untuk kasasi tetap dilakukan
oleh Mahkkamah Agung. Demikian juga tentang sengketa kewenangan
UU No. 18 Pasal 26 ayat (2) yang berbunyi “Mahkamah Syari’ah untuk tingkat
kasasi dilakukan pada Mahkamah Agung RI”mengadili antara Mahkamah
Syari’ah dengan lembaga peradilan lain. Mengenai kewenangan Mahkamah
Syari’ah, UU No. 18 Tahun 2001 menyerahkan pada qanun provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam.
Tentang Peradilan Syari’at Islam yang diatur
dalam Qanun No. 10 Tahun 2002, dalam Pasal 49 menyebutkan bahwa
perkara-perkara dibidang perdata yang meliputi hukum kekeluargaan, hukum
perikatan dan hukum harta benda serta perkara-perkara dibidang pidana
yang meliputi; Qishas-Diyat, Hudud dan Ta’zir sebagai
kewenangan Mahkamah Syari’ah.
Sebagai implementasian Undang-undang di atas,
mengenai tugas dan wewenang Mahkamah Syari’ah diatur dalam qanun
tersendiri yakni Qanun No. 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syari’at Islam.
Dalam Pasal 2 ayat (1) :
disebutkan bahwa Mahkamah Syari’ahadalah
lembaga peradilan yang dibentuk dengan qanun ini sertamelaksanakan syari’at
Islam dalam wilayah Propinsi Nanggroe AcehDarussalam,
dalam ayat (2)
pelaksanaan
kewenangan MahkamahSyariah bebas dari pengaruh pihak manapun,
sedangkan ayat (3)
dijelaskan
bahwa Mahkamah Syari’ah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
pengembangan dari Pengadilan Agama yang telah ada.
Pasal 27 UU No. 18 Tahun 2001 Berbunyi “sengketa-sengketa
antara Mahkamah Syari’ah dan pengadilan dalam lingkungan peradilan lain,
menjadi wewenang Mahkamah Agung RI untuk tingkat pertama dan tingkat akhir”.
Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama
yang telah ada diatur dengan UU No. 7 Tahun 1989, yang juga
berwenang menangani perkara-perkara tertntu sesuai dengan hukum syari’at
Islam, harus dikembangkan, diselaraskan,dan disesuaikan dengan maksud
UUNo. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi DaerahIstimewa Aceh
Sebagai Nanggroe Aceh Darussalam, agar tidak terjadi dualisme dalam
pelaksanaan Peradilan Syari’at Islam yang dapatmenimbulkan kerawanan sosial dan
ketidakpastian hukum. Maka lembaga Peradilan Agama beserta perangkatnya
(sarana danprasarananya) yang telah ada di Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalamdialihkan menjadi lembaga Peradilan Syari’at Islam.
a. Mahkamah Syari’ah ini terdiri dari
1)
Mahkamah
Syari’ah sebagai pengadilan tingkat pertama yangberkedudukan di masing-masing
kabupaten/kota;
2)
Mahkamah
Syariah Propinsi sebagai pengadilan tingkat banding yang berkedudukan di
Ibukota Propinsi.
BAB
III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Tujuan
dari pelaksanaan syariat islam di aceh adalah supaya dapat terciptanya suatu
masyarakat yang kritis dan menghargai ilmu pengetahuan, khususnya studi islam.
proses tersebut dilaksanakan dengan cara:Mengaktifkan kembali pusat-pusat
pendidikan islam, Menciptakan kader-kader ulama, ulama atau orang-orang yang
mempunyai pengetahuan atau wawasan dalam bidang agama,Membangun pusat studi
islam di Aceh, Memilih dan memilah hukum islam yang diatur oleh negara dan yang
tidak diatur oleh negara. Dan Menggalakkan ijtihat kolektif (ijtihat jama’iy).
Target
yang ingin dicapai dalam pelaksanaan syariat islam di Aceh serta sebagai solusi
jangka panjang penerapan syariat islam secara kaffah di Aceh, antara lain:
Proses penerimaan otoritas syariat secara kaffah, Proses pembinaan aparat dan
umat memadai, Proses pertarungan politik secara sehat, Proses pergolakan
pemikiran cukup terkontrol.
3.2.
Saran
Sekirannya
kesulitan-kesulitan di atas tidak ditangani secara respresif, kuat dugaan akan
menimbulkan keraguan, sikap pragmatis dan sinisme dikalangan tertentu,
kesulitan yang tidak akan habis-habisnya di tengah masyarakat dan bahkan
mungkin penentangan yang keras dari kalangan pengamat yang kritis, baik yang
pro maupun yang kontra dengan Syari’at Islam. Para ulama dan pemimpin baik yang
formal maupun informal harus dapat membuktikan dan meyakinkan semua pihak bahwa
pelaksanaan Syari’at Islam adalah rahmat untuk semua pihak. Dengan kata lain,
pelaksanaan Syari’at Islam harus menjadikan masyarakat lebih sejahtera
berkeadilan dan berkualitas.
DAFTAR
PUSTAKA
Alyasa
Abubakar. 2008. Penerapan Syariat Islam Di Aceh Upaya Penyusunan Fiqih
Dalam Negara Bangsa. Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Daud
Rasyid, 2001, Formalisasi Syari’at di Serambi Mekkah, dalam buku Syari’at
Islam Yes, Syari’at Islam No. Jakarta: Paramadina.
Eka Sri
Mulyani. 2008. Filosofi Pendidikan Berbasis Syariat Dalam Educational
Network. Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Hasanuddin
Yusuf A, 2003, Sejarah dan Perkembangan Islam di Aceh, Jurnal
Ar-Raniry, Edisi Nomor 82 Tahun.
H.M.Syadli
ZA, Pendidikan Islam di Kesultanan Aceh: Ulama, Meunasah dan Rangkang,
Jurnal al Qalam, Vol 20 No. 96 Tahun 2003.
Soerjono Soekanto, 2003, Pokok-pokok
Sosiologi Hukum, Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Syamsul
Rizal, Dkk. 2008. Syariat Islam Dan Paradigma Kemanusiaan. Dinas Syariat Islam
Profinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Yusni
Saby, Pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh: Suatu Peluang dan Tantangan”,
Jurnal Qanun, 2002, Universitas Syiah kuala Aceh.
No comments:
Post a Comment