BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perekonomian merupakan salah satu
saka guru kehidupan negara. Perekonomian negara yang kokoh akan mampu menjamin
kesejahteraan dan kemampuan rakyat. Salah satu penunjang perekonomian negara
adalah kesehatan pasar, baik pasar barang jasa, pasar uang maupun pasar tenaga
kerja. Kesehatan pasar, sangat tergantung pada makanisme pasar yang mampu
menciptakan tingkat harga yang seimbang, yakni tingkat harga yang dihasilkan
oleh interaksi antara kekuatan permintaan dan penawaran yang sehat. Apabila
kondisi ini dalam keadaan wajar dan normal tanpa ada pelanggaran,
monopoli misalnya maka harga akan stabil, namun apabila terjadi persaingan yang
tidak fair, maka keseimbangan harga akan terganggu dan yang pada
akhirnya mengganggu hak rakyat secara umum.
Pemerintah Islam, sejak Rasulullah SAW di
Madinah concern pada masalah keseimbangan harga ini, terutama
pada bagaimana peran negara dalam mewujudkan kestabilan harga dan bagaimana
mengatasi masalah ketidakstabilan harga. Para ulama berbeda pEndapat mengenai
boleh tidaknya negara menetapkan harga. Masing-masing golongan ulama ini
memiliki dasar hukum dan interpretasi. Berdasarkan perbedaan pendapat para ulama tersebut,
makalah ini mengkaji penetapan harga oleh negara dalam koridor fikih dengan
mempertimbangkan realitas ekonomi.
B. Alasan
Menurut Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim
al-Jauziyyah, inti dari kasus ini adalah kemudharatan yang diderita orang Ansar
ini, disebabkan sikap egois Samurah yang memaksakan pemanfaatan hak miliknya. Dalam
kasus jual beli, para pedagang telah melakukan permainan harga sehingga
merugikan masyarakat banyak. Oleh sebab itu, menurut mereka sesuai dengan
teori Qiyas, lebih pantas dan sangat logis jika kemudharatan orang
banyak dalam kasus penetapan harga dihukumkan sama dengan kasus Samurah dengan
seorang Ansar di atas. Karena pohon kuram Samurah harus ditebang demi
kepentingan seorang Ansar, dan tindakan pemerintah membatasi harga atas dasar
kepentingan masyarakat banyak adalah lebih logis dan relevan. Cara seperti ini
oleh para pakar Usul Fiqh disebut sebagai qiyas aulawiy (analogi
yang paling utama). Alasan lain yang mereka kemukakan adalah
menganalogikan at-tas’ir al-jabari dengan kebolehan hakim
memaksa seseorang yang berutang tapi enggan membayarnya.
C. Tujuan
Adapun tujuan dari pembahsanan at-Tas’ir Al-Jabari
adalah untuk ketentuan harga yang telah ditetapkan pemerintah dengan tujuan
kemaslahatan bersama.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian AT-TAS’IR AL-JABARI
dan dasar hukum
1. pengertian
Kata tas'ir berasal dari kata sa'ara-yas'aru-sa'ran yang artinya menyalakan. Secara etimologi kata at-tas’ir ( ﺍﻠﺗﺳﻌﻴﺭ) seakar
dengan kata as-si’r (ﺍﻠﺳﻌﺭ = harga) yang berarti penetapan harga. Kata as-si'r ini digunakan di pasar untuk
menyebut harga (di pasar) sebagai penyerupaan terhadap aktivitas penyalaan api,
seakan menyalakan nilai (harga) bagi sesuatu.
Dikatakan, Sa arat asy-syay a tas îran, artinya menetapkan harga
sesuatu yang merupakan titik berhenti tawar-menawar.[1]
Jika dikatakan, As arû wa sa arû, artinya
mereka telah bersepakat atas suatu harga tertentu.[2] Oleh karena itu, tas‘îr secara bahasa berarti taqdîr as-si‘ri (penetapan/penentuan harga).[3]
2. dasar hukum
Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa ketentuan penetapan harga
ini tidak dijumpai dalam al-Qur’an. Adapun dalam Hadits Rasulullah SAW dijumpai
beberapa Hadits, yang dari logika Hadits itu dapat diinduksi bahwa penetapan
harga itu dibolehkan. Faktor dominan yang menjadi landasan hukum at-tas’ir, menurut kesepakatan ulama fiqh adalah al-maslahah al-mursalah.
Hadits
Rasulullah saw yang berkaitan dengan penetapan harga adalah sebuah riwayat dari
Anas Ibn Malik. Dalam riwayat itu dikatakan:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
بَشَّارٍ حَدَّثَنَا الْحَجَّاجُ بْنُ مِنْهَالٍ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ
سَلَمَةَ عَنْ قَتَادَةَ وَثَابِتٌ وَحُمَيْدٌ عَنْ أَنَسٍ قَالَ غَلَا السِّعْرُ عَلَى عَهْدِ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ
سَعِّرْ لَنَا فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمُسَعِّرُ الْقَابِضُ الْبَاسِطُ
الرَّزَّاقُ وَإِنِّي لَأَرْجُو أَنْ أَلْقَى رَبِّي وَلَيْسَ أَحَدٌ مِنْكُمْ
يَطْلُبُنِي بِمَظْلِمَةٍ فِي دَمٍ وَلَا مَالٍ
Artinya:
Muhammad bin Basysyar menceritakan kepada kami, Hajjaj bin Minhal menceritakan
kepada kami, Hammad bin Salamah menceritakan kepada kami dari Qatadah, Tsabit
dan Humaid dari Anas RA, ia berkata, "Pada masa Rasulullah SAW, harga
bahan-bahan pokok naik, maka para sahabat berkata kepada Rasulullah SAW,
"Wahai Rasulullah, tetapkanlah harga barang untuk kami". Rasulullah
SAW menjawab, "Sesungguhnya hanya Allah yang berhak
menetapkan harga, Maha Menyempitkan, Maha Melapangkan dan Maha Pemberi rezeki,
dan aku berharap, ketika aku berjumpa dengan Tuhanku. tidak ada seorang pun
dari kalian yang menuntutku karena suatu tindakan zhalim baik yang menyangkut
darah maupun harta ".(HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmizi,
Ibn Majah, Ahmad Ibn Hanbal dan Ibn Hibban).[9]
Dalil lainnya, Hadits Nabi saw :
لا يبيع حاضر لباد ، دعوا الناس يرزق الله بعضهم من بعض
Artinya:
Janganlah orang kota menjual kepada orang dusun, biarkanlah manusia, Allah akan
memberi rizki kepada mereka sebagian dari sebagian lainnya.
Dari Hadits ini Rasulullah saw melarang orang kota yang tahu harga
menjual barang dagangan kepada orang dusun yang tidak tahu harga. Karena hal
ini akan dapat melonjakkan harga. Maka tas’ir dibolehkan agar tidak terjadi
pelonjakan harga.[10]
Imam Ibnul Qayyim menjelaskan, tas’ir yang dibolehkan itu contohnya : penguasa melarang para pedagang
untuk menjual barang dengan harga yang lebih tinggi dari harga pasar, sementara
saat itu masyarakat sangat membutuhkan barang itu. Maka dalam kondisi seperti
ini penguasa mewajibkan pedagang menjual dengan harga pasar, karena ini berarti
mengharuskan keadilan. Padahal keadilan adalah hal yang diperintahkan Allah.[11]
Para ulama fiqh menyatakan bahwa kenaikan harga yang terjadi di
zaman Rasulullah SAW, itu bukanlah oleh tindakan sewenang-wenang dari para
pedagang, tetapi karena memang komoditi yang ada terbatas. Sesuai dengan hukum
ekonomi apabila stok terbatas, maka lumrah harga barang itu naik. Oleh sebab
itu dalam keadaan demikian Rasulullah SAW, tidak mau campur tangan
membatasi harga komoditi di pasar itu, karena tindakan seperti ini bersifat
zalim terhadap para pedagang. Padahal, Rasulullah SAW tidak akan mau dan tak
akan pernah berbuat zalim kepada sesama manusia, tidak terkecuali kepada
pedagang dan pembeli. Dengan demikian, menurut para pakar fiqh, apabila
kenaikan harga itu bukan karena ulah para pedagang, maka pihak pemerintah tidak
boleh ikut campur dalam masalah harga, karena perbuatan itu menzalimi para
pedagang.
B. Proses terjadinya AT-TAS’IR
AL-JABARI
secara alami manusia selalu
membutuhkan orang lain, petani membutuhkan ikan yang ada pada nelayan
sebaliknya nelayan membutuhkan beras yang ada pada petani dan lain sebagainya.
Abu
Yusuf menyatakan tidak ada batasan tertentu tentang murah dan mahalnya harga di
pasar. Murah bukan karena melimpahnya makanan, demikian juga mahal bukan karena
kelangkaan makanan, kadang makanan sangat sedikit tetapi harganya murah. Murah
dan mahal merupakan sunnatullah (Ketentuan Allah). Harga bukan hanya
ditentukan oleh supply (penawaran) semata, tetapi juga ditentukan oleh demand
(permintaan).
C. Pandangan Hukum Islam terhadap
AT-TAS’IR AL-JABARI
Para ulama berbeda pendapat mengenai
hukum tas’ir menjadi 2 (dua) madzhab sebagai berikut :
Pertama, yang mengharamkan secara mutlak.
Ini adalah pendapat jumhur ulama dari ulama Hanafiyah, Syafiiyah, dan
Hanabilah. Ini juga pendapat ulama muta`akkhirin seperti Imam Syaukani dan Imam
An-Nabhani. Namun sebagian ulama Hanabilah ada yang mengharamkan secara mutlak
seperti Ibnu Qudamah, sementara ulama lainnya ada yang memberikan rincian
(tafshil) seperti Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnul Qayyim. Artinya, menurut Ibnu
Taimiyah dan Imam Ibnul Qayyim jika tas’ir mengandung kezhaliman, hukumnya
haram. Jika untuk menegakkan keadilan, hukumnya boleh bahkan wajib.[7]
Kedua, yang
membolehkan, meski tidak membolehkan secara mutlak. Ini pendapat sebagian ulama
Hanafiyah dan Malikiyah. Sebagian ulama Hanafiyah membolehkan tas’ir jika para
pedagang melambungkan harga secara tidak wajar. Sebagian ulama Malikiyah
membolehkan tas’ir jika sebagian kecil pedagang di pasar sengaja menjual dengan
harga sangat murah, sedang umumnya pedagang memasang harga lebih mahal. Maka
tas’ir dibolehkan untuk menaikkan harga agar sesuai dengan harga umumnya
pedagang.[8]
Pendapat
pertama, berdalil dengan hadits-hadits Nabi SAW, misalnya hadits Anas bin Malik
RA :
عن
أنس رضى الله عنه قال: غلا السعر على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم فقالوا :
يارسول الله : سعر لنا ، فقال : إن الله هو المسعر القابض الباسط الرازق ، وإنى
لأرجو أن ألقى ربى وليس أحد منكم يطلبنى بمظلمة فى دم ولا مال
Dari Anas RA, dia berkata,”Harga
melonjak pada masa Rasulullah SAW. Maka berkatalah orang-orang,’Wahai
Rasulullah, tetapkanlah harga untuk kami.’ Maka bersabda Nabi SAW,”Sesungguhnya
Allah adalah Dzat Yang Menetapkan Harga, Yang Memegang Rizki, Yang Melapangkan
Rizki, Yang Maha Pemberi Rizki. Dan sungguh akan betul-betul berharap berjumpa
dengan Tuhanku sementara tak ada seorang pun dari kalian yang akan menuntutku
karena suatu kezhaliman dalam urusan harta atau nyawa.” (HR Abu Dawud, hadits
no 3450).
BAB II
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kata tas'ir
berasal dari kata sa'ara-yas'aru-sa'ran, yang artinya menyalakan. Lalu
dibentuk menjadi kata as-si'r dan jamaknya as'ar yang artinya harga
(sesuatu). Dari berbagai definisi para ahli, sebenarnya maknanya hampir sama.
Kesamaannya ialah definisi-definisi tersebut selalu menyebut tiga unsur yang
sama. Pertama, penguasa sebagai pihak yang mengeluarkan kebijakan. Kedua,
pelaku pasar sebagai pihak yang menjadi sasaran kebijakan. Ketiga, penetapan
harga tertentu sebagai substansi kebijakan.
Mengenai
penetapan harga sendiri, sebagian ulama mengharamkannya dan sebagian lain
membeolehkannya. Penetapan harga (tas’ir) pada suatu perdagangan dan
bisnis diperbolehkan jika di dalamnya terdapat kemungkinan adanya
manipulasi sehingga berakibat naiknya harga. Berbagai macam metode penetapan
harga tidak dilarang oleh Islam dengan ketentuan sebagai berikut; harga yang
ditetapkan oleh pihak pengusaha/pedagang tidak menzalimi pihak pembeli, yaitu
tidak dengan mengambil keuntungan di atas normal atau tingkat kewajaran. Tidak
ada penetapan harga yang sifatnya memaksa terhadap para pengusaha/pedagang
selama mereka menetapkan harga yang wajar dengan mengambil tingkat keuntungan
yang wajar (tidak di atas normal). Harga diridai oleh masing-masing pihak, baik
pihak pembeli maupun pihak penjual. Harga merupakan titik keseimbangan antara
kekuatan permintaan dan penawaran pasar yang disepakati secara rela sama rela
oleh pembeli dan penjual. Apabila keseimbangan ini terganggu, maka pemerintah
atau pihak yang berwenang harus melakukan intervensi ke pasar dengan menjunjung
tinggi asas-asas keadilan baik terhadap pihak pedagang/pengusaha maupun
terhadap pihak konsumen.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Minawi, At-Ta’ârif,
I/405, Dar al-Fikr al-Mu’ashirah-Dar al-Fikr, Beirut-Damaskus, cet. I. 14140 H.
Ibn
Manzhur, Lisân al-‘Arab, IV/365, Dar Shadir, Beirut, cet. I. tt
Ar-Razi, Mukhtâr
ash-Shihâh, I/126, Maktabah Lubnan Nasyirun, Beirut, cet. Baru. 1995 M-1415
H.
Muhammad
bin Qasim Al-Anshari, Syarah Hudud Ibnu Irfah, II/35
Zakariya
Al-Anshari, Asnal Mathalib Syarah Raudhah Ath-Thalib, II/38
Al-Bahuti,
Syarah Muntaha Al-Iradat, II/26
Imam
Syaukani, Nailul Authar, V/335
Taqiyuddin
An-Nabhani , An-Nizham Al-Iqtishadi fil Islam, hlm. 199.
Ibnul
Qayyim, Ibnul Qayyim, Ath-Thuruqul Hukmiyah,
Ibnu
Taimiyah, dalam kitab Majmu’ul Fatawa, Juz 28
Yusuf
Al-Qaradhawi, Daur Al-Qiyam wa Al-Akhlaq fi Al-Iqtishadi Al-Islami,
DR.
Yusuf Qardhawi.Norma Dan Etika Ekonomi Islam (Jakarta : Gema
Insani, 1997)
Ir.Adiwarman
Karim, SE,MA.Ekonomi Mikro Islam (Jakarta : Penerbit III T
Indonesia, 2003)
No comments:
Post a Comment