MAKALAH AN NUZUL

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
            Secara istilah asbab an-nuzul dapat didefinisikan kepada “suatu ilmu yang mengkaji tentang sebab-sebab atau hal-hal yang melatar belakangi turunnya ayat al-qur’an”. Menurut Az-Zarqoni asbab an- nuzul adalah peristiwa yang menjadi sebab turunnya ayat atau beberapa ayat, dimana ayat tersebut bercrita atau menjelaskan hukum peristiwa tersebut pada waktu terjadinya. Atau suatu pertanyaan yang ditunjukan kepada Nabi, dimana pertanyaan itu menjadi sebab turunnya suatu ayat sebagai jawaban atas pertanyaan itu.
Pengetahuan tentang  Asbab al-Nuzul merupakan hal penting apabila kita hendak memahami al-Qur’an Pengetahuan tentang Asbab al-Nuzul merupakan salah satu syarat yang harus dikuasai oleh para ulama yang hendak menafsirkan al-Qur’an di samping ilmu ilmu lainnya.
Karena dengan mengetahui asbab al nwul akan mengantarkan kita pada pengetahuan tentang makna-makna dan maksud-maksud al-Qur’an serta mengetahui kejadian-kejadian yang menyertai turunnya sebuah ayat. Selain itu juga untuk mengetahui di balik hikmah pembentukan hukum syara dan menghilangkan persangkaan yang sempit mengenai makna sebuah ayat. Ibnu Taimiyah juga menegaskan bahwa mengetahui Asbab al-Nuzul akan mengantarkan pada pengetahuan tentang musabbab.
Berdasarkan pernyataan di atas, betapa mempelajari dan mengetahui Asbab al-Nuzul merupakan suatu hal yang urgen dalam konteks penafsiran al-Qur’an. Untuk itu, penulis dalam makalah ini akan mengemukakan landasan teoritis tentang asbab al-Nuzul yang didalamnya diuraikan tentang pengertian Asbab al-Nuzul, keragaman dan ruang lingkup asbab al-Nuzul, ikhtilaf ulama seputar Asbab al-Nuzul, metode penggunaan dan pentarjihan, serta tidak lupa dikemukakan tentang urgensi asbab al-Nuzul bagi penafsiran al-Qur’an.



B.  Rumusan Masalah
1.    Pengertian Asbab An-Nuzul ?
2.    Urgensi dan kegunaan Asbab An-Nuzul
3.    Macam-macam Asbab An-Nuzul

C.  Tujuan Penulisan
            Tujuan penulisan makalah ini adalah supaya pembaca dapat mengerti tentang Asbab An-Nuzul !
BAB II
PEMBAHASAN


A. Pengertian Asbabun Nuzul
Ungkapan asbab an-nusul terdiri dari dua kata, yaitu asbab dan an-nuzul. Kata asbabmerupakan jama’ dari sabab dan an-nuzul adalah masdar dari nazala.secara harifah, sabab berarti sebab atau latar belakang, maka asabab berarti sebab-sebab atau beberapa sebab atau beberapa latar belakang. Sedangkan an-nuzul berarti turun.[1] Yang mengacu pada tempat, situasi atau tempat pewahyuan.[2]Secara istilah asbab an-nuzuldapat didefinisikan kepada “suatu ilmu yang mengkaji tentang sebab-sebab atau hal-hal yang melatarbelakangi turunnya ayat Alquran”. Menurut Al-Zarqani, asbab an-nuzul adalah peristiwa yang menjadi sebab turunnya suatu ayat atau beberapa ayat, dimana peristiwa tersebaut bercerita atau menjelaskan hukum menegenai peristiwa tersebut ad waktu terjadinya. Atau suatu pertayaan yang ditujukan kepada Nabi, dimana pertanyaan itu menjadi sebab turunnya suatu ayat sebagai jawaban atas pertanyaan tersebut (dikutip penulis buku dari Az-Zarqani, Manabil Al-‘irfan fi’ulum Al-Qur’an, Beirut: Dar Al-Fikr, 1998, hlm. 99).
Melihat penjelasan diatas bahwa ada sebab dan ada musabab. Sebab adalah peristiwa yang terjadi pada masa Nabi atau pertanyaan yang ditujukan kepada Nabi. Dan musababnya adalah ayat-ayat Alquran yang diturunkan kepada Nabi untuk mersepon peristiwa atau menjawab pertanyaan tersebut. Apabila dilihat dari ababu nuzul ini, ayat-ayat Alquran diklasifikasikan dalam dua kelompok: pertama yat yang mempunyai sebab atau latar belakang turun, yang kedua ayat yang diturunkan tidak didahului oleh suatu peristiwa atau pertanyaan.[3] Hal ini bisa terjadi mengingat Alquran seperti pada umunya ayat mempunyai sebab nuzul adalah ayat hukum dan ayat yang dimulai dengan yas’alunaka. Tetapi hal ini tidak berarti ayat yang tidak berbicara tentang hukum tidak mempunyai sebab nuzul sama sekali. Disimpulkan para ahli tafsir, tidak hanya memuat berita masa lalau, akan tetapi sekaligus berisikan informasi masa depan.


B. Urgensi Asbabun Nuzul dalam menafsirkan Alurqan (susana)
Asabab an-nuzul suatu ilmu yang sangat penting yang harus dimiliki atau dikuasai oleh seseorang dalam menafsirkan Alquran. Tanpa bantuan ini seseorang dapat salah dalam menafsirkannya, karena ayat-ayat Alquran kadang-kadang menjelaskan hukum secara umum sedangkan yang dimaksud adalah kusus yang menyangkut dengan peristiwa itu saja. Al-Wahidi mengatakan: tidak mungki menafsirkan Alquran tanpa mengetahui kisah dan penjelasan turunnya. Contohnya,
a. Surah Al-Maidah ayat 93:

“Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka tetap bertakwa”. (Al-Maidah ayat 93)

Jika ayat ini ditafsirkan tanpa memperhatikan asbabun nuzulnya, maka mungkin saja orang akan berkata “orang boleh memakan apa saja, asal dia tetap dalam keberimanan dan beramal shaleh”, seperti yang pernah dipahami oleh Usman bin Ma’zun dan Umar bin Ma’adi Karb, berdasarkan ayat itu, keduanya mengatakan khamr itu mubah. Hal ini jelas bertentangan dengan Surah Al-Ma’idah ayat 3 yang melarang setiap muslim memakan babi, darah, bangkai, khamr, dan lain sebagainya.
Selain dari hal tersebut, terdapat pula beberapa manfaat mengetahui asbabun nuzul, diantaranya:
a.       Untuk mengetahui peristiwa atau kejadian yang menyebabkan diisyaratkannya suatu hukum, di mana hukum itu juga bisa berlaku pada persitiwa yang sama jika terjadi kemudian. Hal ini seperti yang terlihat pada asbabun nuzul ayat:
“maka siapa saja diantara kamu yang sakit atau gangguan di kepalanya (kemudian dia mencukur rambutnya), maka hendaklah dia membayar fisyah dengan berpuasa, atau bersedekah atau berkurban”. (QS. Al-Baqarah: 196).
Asbabun nuzul ayat ini berkaitan dengan apa yang dialami oleh Ka’ab ketika ihram, yaitu terdapat banyak kutu dikepalanya sehingga dia mersa susah dengan keadaan itu. Dia ingin mencukur rambutnya, tetapi hal itu terlarang karena ihram. Maka ayat ini turun membolehkan Ka’ab mencukur rambutnya dengan syarat bahwa dia mesti membayar fidyah slah satu diantara tiga hal, berpuasa, memberi makan fakir miskin, atau berkurban.
b.      Untuk menjelaskan hukum-hukum khusus yang berkaitan dengan asbabun nuzul, walaupun lafalnya umum seperti yang dijelaskan diatas.
c.       Dapat membantu mufassir memahami suatu ayat yang mungkin dipahami dengan bantuan asbabun nuzul. Sebab, terkadang sebuah ayat bercerita tentang peristiwa yang dialami seseorang, hal ini seperti yang terdapat dalam firman Allah:
“Allah telah mendengar ucapan perempuan yang mengajukan gugatan kepadamu (Muhammad) tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah, dan Allah mendengar percakapan antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. Mujadalah: 1)

Yang dimaksud dengan ungkapan قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ (perkataan seorang perempuan yang mengajukan gugatan kepadamu) adalah perkataan Khulah binti Tsa’labah yang dizihar (perbuatan seorang suami yang menyamakan isterinya dengan mana-mana perempuan yang diharamkan berkahwin dengannya) oleh suaminya. Jadi, dengan bantuan asbabun nuzul seorang mufassir dapat menjelaskan makna ungkapan tersebut.
d.      Asbabun nuzul menerangkan kepada siapa ayat itu diturunkan, sehingga ia tidak ditanggungkan ke atas yang lain. Hal ini seperti tergambar dalam ayat poin “c” diatas

C. Macam-Macam Asbabun Nuzul
            Asbabun nuzul bisa ditinjau dari berbagai aspek. Jika ditinjau dari aspek bentuknya, sabab al-nuzul dapat dibagi kepada dua bentuk, seperti telah diterangkan sebelumnya, yang pertama berbentuk peristiwa dan yang kedua berbentuk pertanyaan. Sabab al-nuzul yang berbentuk peristiwa ada tiga macam, pertengkaran, kesalahan yang serius, dan cita-cita dan harapan. Sabab al-nuzul yang berbentuk pertanyaan dapat pula dibagi kepada tiga macam, yaitu pertanyaan tentang masa lalu, masa yang sedang berlansung, dan masa yang akan datang.
             Dari segi jumlah sebab dan ayat yang turun, sabab al-nuzul dapat dibagi kepada ta’addud al-sabab wa al-nazil wahid (sebab turunnya lebih dari satu dan inti persoalan yang terkandung dalam ayat atau sekelompok ayat yang turun satu) dan ta’adud al-nazil wa al-sabab wahid (inti persoalan yang terkandung dalam ayat atau sekelompok ayat yang turun lebih dari satu sedang sebab turunnya satu).
            Jika ditemukan dua riwayat atau lebih tentang sebab turun ayat dan masing-masing menyebutkan suatu sebab yang jelas dan berbeda dari yang disebutkan lawannya, maka riwayat itu perlu diteliti dan di analisis. Permasalahannya ada empat bentuk :
1.      Salah satu dari keduanya riwayat shahih dan yang lain tidak, maka diselesaikan dengan jalan memperpegangi riwayat yang shahih dan menolak riwayat yang tidak shahih. Misalnya, perbedaan yang terjadi antara riwayat Bukhari, Muslim, dan lainnya dari satu pihak dan riwayat Al-Thabrani dan Ibn Abi Syaibah di pihak lain. Bukhari, Muslim, dan lainnya meriwayatkan dari Jundub. Ia (Jundub) berkata : “Nabi SAW kesakitan sehingga ia tidak bangun satu atau dua malam. Seorang perempuan datang kepadanya dan berkata: “Hai Muhammad, saya tidak melihat setanmu kecuali telah meninggalkanmu”,
Al-Thabrani dan Ibn Abi Syaibah meriwayatkan dari Hafs Ibn Maisarah dari ibunya, dari ibunya (neneknya dari ibu) dan ibunya itu pembantu Rasul SAW: “Sesungguhnya seekor anak anjing memasuki rumah Nabi SAW. Anak anjing itu masuk ke bawah tempat tidur dan mati, maka selama empat hari Nabi SAW tidak dituruni wahyu. Maka ia (Nabi) berkata: “Hai Khaulah, apa yang telah terjadi dirumah Rasulullah? Jibril tidak datang kepadaku”. Saya berkata pada diri saya sendiri: Sekiranyalah engkau persiapkan rumah ini dan engkau sapu, maka saya jangkaukan penyapu ke bawah tempat tidur itu, maka saya mengeluarkan anak anjing tersebut. Nabi SAW pun datang dalam keadaan jenggotnya gemetar. Dan memang jika turun (wahyu) kepadanya ia menjadi gemetar”. Maka Allah menurunkanوالضحى           hingga firman-Nyaفترضى
        Dalam hal demikian menurut Al-Zarqani, kita mendahulukan riwayat yang pertama dalam menerangkan sebab turunnya ayat tersebut, karena keshahihan riwayatnya dan tidak riwayat yang kedua. Sebab dalam sanad riwayat yang kedua terdapat  periwayat yang tidak dikenal.
2. Bila kedua riwayat itu shahih, namun salah satunya mempunyai penguat (murajjih) dan yang lain tidak, maka penyelesaiannya adalah mengambil riwayat yang mempunyai penguat. Misalnya, hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dari Ibn Mas’ud. Ia berkata: “Saya berjalan bersama Nabi SAW di Madinah dan ia (Nabi) bertongkat pelepah korma. Ia melewati sekelompok orang Yahudi. Mereka berkata kepada sebagian mereka: “Coba kamu tanya dia”, maka mereka berkata: “Ceritakan kepada kami tentang ruh”, Nabi terhenti sejenak dan kemudian ia mengangkat kepalanya. Saya pun mengerti bahwa ia dituruni wahyu hingga wahyu itu naik. Kemudian ia berkata:
قل الروح من امر ربى وما اوتيتم من العلم الا قليلا
        Dalam hubungan ayat yang sama, Al-Tirmizi meriwayatkan hadits yang dishahihkan dari Ibn Abbas. Ia berkata: “Orang-orang Quraisy berkata kepada orang-orang Yahudi, “ Berikan kepada kami sesuatu yang akan kami pertanyakan kepada orang ini (Nabi)”. Mereka berkata: “Kamu tanyakanlah kepadanya tentang ruh”; merekapun menanyakannya, maka Allah menurunkan:
ويسالونك عن الروح
        Menurut Al-Suyuthi dan Al-Zarqani, riwayat yang kedua ini menunjukkan bahwa ayat tersebut turun di Mekkah dan sebab turunnya adalah pertanyaan kaum Quraisy. Sedangkan riwayat pertama jelas menunjukkan turunnya di Madinah karena sebab turunnya adalah pertanyaan orang Yahudi. Riwayat yang pertama ini lebih kuat dari yang kedua. Yang pertama adalah riwayat Al-Bukhari dan yang kedua riwayat Al-Tirmizi. Telah menjadi ketentuan bahwa riwayat Al-Bukhari lebih shahih dari riwayat yang lainnya. Kemudian, periwayat pertama, Ibn Mas’ud menyaksikan kisah turun ayat tersebut, sedangkan periwayat hadits kedua tidak demikian. Orang yang menyaksikan tentu mempunyai kekuatan yang lebih dalam penerimaan dan penyampaian riwayat dari pada orang yang tidak menyaksikannya. Karena itu, riwayat yang pertama diamalkan dan riwayat yang kedua ditinggalkan.
3. Keshahihan dua riwayat itu sama dan tidak ditemukan penguat (murajjih) bagi salah satu keduanya. Akan tetapi keduanya dapat dikompromikan. Kedua sebab itu benar terjadi dan ayat turun mengiringi peristiwa tersebut benar, karena masa keduanya berhampiran. Maka penyelesaiannya adalah dengan menganggap terjadinya beberapa sebab bagi turunnya ayat tersebut. Ibn Hajar berkata: “ Tidak ada halangan bagi terjadinya ta’addud al-sabab (sebab ganda)
        Misalnya, hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari jalan Ikrimah dari Ibn Abbas, bahwa Hilal Ibn Umayyah menuduh istrinya berbuat mesum, disisi Nabi dengan Syarik Ibn Samha. Nabi berkata: “Buktikan atau hukuman atas pundakmu”. Ia berkata : “Hai Rasulullah jika seseorang dari kami mendapati seorang laki-laki bersama isterinya dia harus pergi mencari bukti?”, maka Jibril pun turun dan menurunkan kepada Nabi :
والذين يرمون ازواجهم ولم يكن لهم شهداء الا انفسهم, الى قوله.... ان كان من الصادقين  (النور : 6)
        Sementara itu, Al-bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Sahl Ibn Sa’d, bahwa Uwaimir datang kepada Ashim Ibn Adiy yang adalah pemimpin bani ‘Ajlan seraya berkata: Bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang menemukan istrinya bersama laki-laki lain. Apakah ia bunuh laki-laki itu, maka ia pun membunuhnya, atau bagaimanakah ia bertindak? Tanyakanlah untuk saya hal yang demikian kepada Rasul SAW. Ashim pergi menanyakan kepada Rasul, tetapi Rasul tidak memberikan jawaban sehingga Uwaimir pergi menanyakannya lansung kepada Rasul. Rasul berkata: “ Allah telah menurunkan Al-Qur’an tentang engkau dan temanmu (istrimu). Rasul memerintahkan keduanya melakukan mula’anah sehingga Uwaimir melakukan li’an terhadap istrinya.
        Kedua riwayat ini shahih dan tidak ada penguat (murajjih) bagi salah satu keduanya atas lainnya. Dalam pada itu, tidak terdapat kesulitan untuk menjadikan kedua-duanya sebagai sebab turun ayat tersebut karena waktu peristiwa berhampiran.
4. Keadaan dua riwayat itu shahih, tidak ada penguat (murajjih) bagi salah satu keduanya atas yang lainnya, dan tidak pula mungkin menjadikan keduanya sekaligus sebagai asbab al-nuzul karena waktu peristiwanya jauh berbeda. Penyelesaian masalah ini adalah dengan menganggap berulang-ulangnya ayat itu turun sebanyak asbab al-nuzulnya.
        Misalnya ialah hadits yang diriwayatkan Al-Baihaqi dan Al-Bazzar dari Abu Hurairah bahwa Nabi SAW. Berdiri dekat Hamzah ketika gugur menjadi syahid dan tubuhnya dicincang. Nabi berkata: “ sungguh saya akan cincang tujuh puluh orang dari mereka sebagai penggantimu”. Jibril pun turun dengan membawa tiga ayat dari akhir surah al-Nahl:
وان عا قبتم فعا قبوا بمثل ماعوقبتم به
        Sementara itu, Al-Tirmizi dan Al-Hakim meriwayatkan dari Ubaiy Ibn Ka’ab. Ia berkata : “Takkala pada perang Uhud jatuh korban dari kaum Anshar 64 orang dan dari kaum Muhajirin 6 orang termasuk Hamzah, mereka teraniaya, maka kaum Anshar berkata: “Jika kita dapat mengalahkan mereka pada suatu hari seperti ini, kita akan melebihkan (jumlah korban)  mereka nanti”. Pada ketika penaklukan Mekkah, Allah menurunkan ayat :
وان عا قبتم
        Riwayat pertama menunjukkan bahwa ayat tersebut turun pada perang Uhud dan riwayat kedua menunjukkan turunnya pada penaklukan Mekkah. Sedangkan jarak waktu antara dua peristiwa tersebut beberapa tahun. Karena itu sulit diterima akal bahwa ayat itu turun satu kali mengiringi dua peristiwa itu sekaligus. Berdasarkan hal yang demikian, tidak ada jalan keluar selain dengan mengatakan turunnya berulang-ulang, sekali pada perang Uhud, dan sekali pada penaklukan Mekkah.
            Inilah empat bentuk permasalahan dan pemecahannya ketika terjadi ta’addud al-sabab wa al-nazil wahid, yaitu riwayat tentang sebab turun ayat lebih dari satu riwayat sedang ayat yang turun satu atau beberapa ayat yang turun serempak. Adapun jika sebaliknya, yaitu ta’addud al-nazil wa al-sabab wahid (ayat yang turun berbeda dan sababnya tunggal atau sama), maka hal yang demikian tidak menjadi masalah. Hal demikian tidak bertentangan dengan hikmah untuk meyakinkan manusia dan menjelaskan kebenaran. Bahkan, cara yang demikian bisa lebih efektif.


D. Kaidah Al-Ibrah
1. AL-‘IBRAH  BI ‘UMUM,AL-LAFAZHI  LA BI KHUSUS AS-SABAB
Yang Menjadi Pegangan Adalah Lafal Yang Umum,bukan Sebab Yang Khusus
Mayoritas ulama berpendapat demikian. Hukum yang diambil dari lafaz yang umum itu melampaui bentuk sebab yang khusus sampai pada hal-hal yang serupa dengan itu.As-Suyuthi ,meberikan alsan bahwa itulah yang dilakukan oleh para sahabat dan golongan lain. Ini bisa dibuktikan ,yakni ketika turun ayat Li’an dalam perkara HilalIbnu Ummayah kepada strinya. Berikut adalah kutipan Surat An-Nur ayat 6-9
 Ayat qadzaf dalam kasus tuduhan terhadap Aisyah,penyelesaian terhadap kasus-kasus tersebut juga diterapkan terhadap peristiwa lain yang serupa.
Selain itu misalnya ayat zihar dalam kasus Aus bin Samit atau Salamah bin Sakhr sesuai dengan riwayat mengenai hal itu yang bebeda-beda. Berdalil dengan keumuman redaksi ayat –ayat yang diturunkan ubtuk sebab-sebab khusus sudah popular dikalangan para ahli.
Zamakhsyari dalam penafsiran surat Al-Humazah  mengatakan bahwa surat ini diturunkan karena sebab khusus ,namun ancaman hukuman yang tercakup didalamnya jelas berlaku umum ,mencakup semua orang yang berbuat kejahatan yang disebutkan.
Ibnu Abbas pun mengatakakan bahwa kejahatan pencurian berlaku umum,tidak hanya bagi pelaku pencurian seseorang wanita dalam sebab An-Nuzul itu.Akan tetapi berlaku secara umum.
Ibnu Taimiyyah pun berpendapat bahwa banyak ayat yang diturunkan berkenaan dengan kasus tertentu bahkan kadang-kadang menunjuk pribadi seseorang , kemudian dipahami sebagai berlaku umum. Misalnya dalam surat Al-Maidah ayat 8,  tentang perintah Nabi untuk mengadili secara adil,ayat ini sebenarnya diturunkan khusus bagi Bani Quradzan dan Bani Nadhir.


Namun , menurut Ibnu Taimiyah tdak benar jika diakatakn bahwa perintah  kepada Nabi itu hanya berlaku adil terhadap kedua Qabilah itu. Akan tetapi berlaku secara umum.
2. AL-‘IBRAH  BI KHUSUS  AS-SABAB, LA BI ‘UMUM AL-LAFAZH
Yang Menjadi Pegangan Adalah Sebab ynag Khusus,bukan Lafal Yang Umum
Adapun ulama juga berpendapat demikian karena lafal yang umum itu menunjukkan bentuk sebab yang khusus. Cakupan ayat tersebut terbatas pada kasus yang menyebabkan sebuah ayat diturunkan. Oleh karena  itu ,untuk dapat  diberlakukan kepada kasus lain sebab diperlukan dalil lain seperti qiyas,dsb. Sehingga pemindahan riwayat sebab yang khusus itu mengandung faedah dan sebab ttersebut sesuai dengan musababnya seperti halnya pertanyaan dengan jawabannya.





BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
            Pada umumnya ayat yang mempunyai sebab nuzul adalah ayat-ayat hukum dan ayat-ayat yang dimulai dengan yas’alunaka. Tetapi hal ini tidak berarti ayat-ayat yang tidak berbicara tentang hukum tidak mempunyai sebab nuzul sama sekali; ada juga diantara ayat-ayat yang tidak berbicara tentang hukum mempunyai sebab nuzul, namun tidak terlalu banyak.
            Jadi, ada ayat yang memiliki asbabun nuzul dan ada pula yang tidak. Ayat yang tidak memiliki asbabun nuzul tidak berarti, bahwa ayat-ayat itu turun secara tiba-tiba tanpa daa kaitannya dengan fenomena masyarakat.

Saran
            Demikian makalah ini kami buat, kami menyadari dalam penulisan  makalah kami jauh dari kesempurnaan, kami mengharap kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah kami selanjutnya, harapan kami makalah ini dapat bermanfaat. Amien.




DAFTAR PUSTAKA
Ash ShabuniyMuhammad Ali, Studi Ilmu Al-Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, 1998
 Abdullah Az-Zarkasyi, Muhammad Ibnu Al-Burhan Fi Ulum Al-Qur’an,Kairo: Dar Al-Hadits, 2006
Al-Qattan, Manna Khalil, pentj. Muzakir AS, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an,Bogor: Pustaka Lintera Antar Nusa, 2007
 As-Suyuti, Imam, Al-itqon fii Ulum al-Qur’an, juz 1, no.342 (maktabah Syamilah)
            Abdul, Wahid Ramli, Ulumul Qur’an. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada, 2002
Abu Syabah, Muhammad, Al-Madkhal li Dirasati Al-Qur’an Al-Karimi, Kairo: Maktabah As-Sunnah, 2002
             Al-Zarqani, Muhammad Abdul Adzim, Syeikh. Manahil al-‘Urfan fi ulum al-Qur’an.Jakarta Gaya Media Pratama, 2001.
Ibrahim, Musa, Buhuts Manhajiyyah fi Ulum al-Qur’an al-Karim, Oman: Dar Ammar, 1996
            Manna’ul  Quthan. Mabahis fi ‘Ulumil Qur’an. Alih bahasa Halimuddin, S.H. Jakarta: PT Rineka Cipta. 1998.
Rosihon Anwar, 2010, Ulum Al-Qur’an, Bandung: Pustaka Setia
Ali Ash-Shaabuuniy, Muhammad, Prof. Dr, 2008, Studi Ilmu Al-Qur’an, Bandung: Pustaka Setia
Manna’ Al-Qaththan, Syaikh, 2011, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar
Hasbi Ash-Shiddieqy, Muhammad, Teungku, Prof, Dr, 2010, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Semarang: Pustaka Rizki Putra
AS-Suyuthi, Jalaluddin, Imam, Al-Itqan Fi Ulumil Qur’an jilid 1, Surabaya: Bina Ilmu


No comments:

Post a Comment

Informasi Pendidikan

tesss